TIMES POSO, PACITAN – Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ di Pondok Tremas Pacitan berlangsung meriah. Tidak hanya diisi dengan pembacaan Al-Barzanji dan dziba’, malam kelahiran Nabi juga disemarakkan dengan tradisi rebut gunungan.
Sejak Kamis sore (4/9/2025), halaman masjid Pondok Tremas Arjosari sudah ditata rapi dan dihias untuk menyambut malam sakral tersebut.
Suasana semakin ramai ketika gunungan berisi aneka jajan, susu kotak, uang, dan makanan yang disusun menyerupai tumpeng besar dihadirkan di tengah acara. Usai pembacaan dziba’, gunungan itu dibagikan kepada ribuan santri.
Majelis maulid itu penuh dengan lautan manusia yang rindu akan syafaat Nabi SAW. Setidaknya, 10 ribu jamaah yang terdiri dari para santri, alumni dari berbagai daerah hingga undangan memadati area halaman masjid.
Menurut Panitia Dziba’ Akbar, Masruhan, jumlah sedekahan yang terkumpul tahun ini cukup melimpah.
“Alhamdulillah, total sedekahan malam ini ada 241 ingkung ayam, 16 gunungan jajan, 15 kilogram nasi kebuli dan daging kambing, serta 365 nampan nasi ayam. Semua harus tertib, tidak boleh berebut, akan dibagikan panitia,” ujarnya, Jumat (5/9/2025).
Salah satu mahasantri Ma’had Aly Al-Tarmasi Pacitan, Amalia Nur Eka Putri, mengaku senang bisa mengikuti tradisi rebut gunungan. Ia memilih duduk di dekat area gunungan sejak awal acara.
“Supaya nanti kebagian,” kata Amalia.
Tradisi yang Mengakar dalam Fiqh
Bagi kalangan pesantren, rebut gunungan bukan sekadar bagi-bagi makanan, melainkan juga memiliki nilai spiritual. Dalam perspektif ushul fiqh, tradisi ini termasuk kategori ‘urf shahih atau adat baik karena tidak bertentangan dengan syariat.
Bahkan, tujuannya sejalan dengan maqashid syariah: menumbuhkan rasa syukur, memperkuat ukhuwah, dan menyebarkan keberkahan.
Seperti kaidah fiqhiyyah: “Al-‘adah muhakkamah” – adat kebiasaan dapat dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan syariat.
Ada pula kaidah: “Al-wasa’il laha ahkam al-maqasid” – hukum sarana mengikuti tujuan.
Dengan demikian, selama tujuan tradisi rebut gunungan adalah syukur dan berbagi, hukumnya mustahab (dianjurkan).
Tradisi semacam ini juga mendapat legitimasi dari para ulama klasik. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Husnul Maqsid fi Amalil-Maulid menyebutkan bahwa memperingati Maulid Nabi termasuk bid‘ah hasanah yang berpahala.
Sayyid Abu Bakar asy-Syatha dalam I‘anah at-Talibin (juz 2, hlm. 364) menulis:
“Di antara amalan kaum Muslimin adalah berdiri saat disebutkan kelahiran Nabi ﷺ sebagai bentuk pengagungan. Itu termasuk amal yang terbaik.” Jika berdiri saat Maulid saja dinilai sebagai amalan baik, maka tradisi berbagi melalui gunungan tentu masuk dalam kategori yang sama: bid‘ah hasanah.
Makna Simbolis Rebut Gunungan
Tradisi rebut gunungan di Pondok Tremas menyimpan makna simbolis yang dalam.
- Syukur – gunungan yang disusun dari hasil bumi dan aneka makanan melambangkan limpahan rezeki dari Allah SWT.
- Mahabbah – dipersembahkan untuk memuliakan hari kelahiran Rasulullah ﷺ.
- Ukhuwah – momen rebutan gunungan justru menghadirkan keakraban, rasa kebersamaan, dan semangat berbagi antar-santri.
Pada akhirnya, tradisi rebut gunungan dalam Maulid Nabi di Pondok Tremas bukanlah ibadah mahdhah, melainkan ekspresi syukur dan cinta kepada Rasulullah ﷺ. Dari perspektif ushul fiqh, ia tergolong ‘urf shahih dan bid‘ah hasanah yang mendukung maqashid syariah: syukur, ukhuwah, dan mahabbah.
Rebut gunungan merupakan bagian dari cara umat Islam di Nusantara mengekspresikan cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan bingkai syariat yang tetap terjaga. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tradisi Rebut Gunungan Meriahkan Maulid Nabi di Pondok Tremas Pacitan
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |